Prabowo is riding a wave of popular support. Photo by AFP.

Prabowo is riding a wave of popular support. Photo by AFP.


Read the English version of this article here.

Marcus Mietzner dan Edward Aspinall berargumen bahwa, walaupun sudah dibantah beberapa kali, Prabowo sebenarnya masih bertekad untuk mencari mandat dari rakyat hanya sekali saja.

Dalam beberapa hari terakhir ini mulai muncul beberapa diskusi publik tentang rencana Prabowo untuk mereformasi sistem politik Indonesia. Walaupun diskusi ini belum masuk arus utama, wacana itu merupakan upaya awal untuk mempertanyakan apa yang sebenarnya ingin dilakukan oleh Prabowo dengan jabatan presiden seandainya dia menang pada 9 Juli. Secara khusus, beberapa pihak telah mulai fokus pada keinginan Prabowo yang dinyatakan samar-samar – tetapi semakin jelas –untuk menghapus pemilihan presiden langsung dan dengan demikian, jika dia menang, menghindari menghadapi masyarakat Indonesia dalam pemungutan suara secara langsung untuk kedua kalinya..

Pada tanggal 28 Juni lalu, Prabowo menyatakan di Taman Ismail Marzuki (TIM) bahwa dia melihat sistem politik Indonesia sekarang terlalu dipengaruhi oleh nilai-nilai Barat. Baginya, pemilihan langsung (agaknya baik di tingkat nasional maupun lokal) tidak sejalan dengan budaya Indonesia, namun telah diadopsi dan diabadikan seperti sebuah kebiasaan buruk (dia menyebut kebiasaan merokok sebagai sebuah contoh). Dengan demikian, lanjutnya, yang diperlukan adalah konsensus baru di antara kelompok-kelompok sosial dan politik utama Indonesia. Dia tak menjelaskan harus seperti apa konsensus politik baru ini, tetapi mengingat kritik tajamnya tentang pemilihan langsung, maka cukup fair untuk menganggap Prabowo akan berusaha untuk membangun sebuah sistem alternatif di mana para pemimpin puncak eksekutif dipilih secara tidak langsung, ketimbang dipilih rakyat secara popular [Versi Bahasa Inggris].

Kembali ke UUD 1945
Sebenarnya, Prabowo telah meletakkan bentuk dasar rencananya untuk sebuah restrukturisasi radikal terhadap lanskap politik pasca-reformasi beberapa bulan lalu. Dalam Manifesto Perjuangan Partai Gerindra, partai Prabowo menyatakan bahwa telah terjadi banyak penyelewengan terhadap UUD 1945 sebagaimana sudah diamandemen sejak tahun 2002. Sebagai konsekuensi dari penyelewengan itu, Gerindra mengusulkan ‘tegaknya’ konstitusi asli sebagaimana ditetapkan pada 18 Agustus 1945″. Prabowo telah mengulangi keinginannya untuk kembali ke UUD versi 18 Agustus 1945 dalam beberapa pidato dan komentar lainnya, dan adiknya Hashim Djojohadikusumo beserta petinggi Partai Gerindra lainnya sudah seringkali menyatakan hal yang sama (lihat misalnya di sini).

Masalahnya adalah bahwa konstitusi versi 18 Agustus yang sangat singkat itu, yang ditulis terburu-buru dalam waktu beberapa minggu sebelum proklamasi kemerdekaan, sangat menguntungkan bagi seorang otokrat. Banyak sekali masalah mendasar tidak diatur oleh konstitusi tersebut, sehingga memungkinkan seorang presiden untuk menjahit sistem politik sesuai selera dan preferensinya. Dengan begitu, konstitusi ini melayani Sukarno dan Suharto dengan baik dalam menciptakan rezim otoriter masing-masing antara tahun 1959 dan 1998. Misalnya, karena UUD 1945 bahkan tidak mensyaratkan parlemen harus dipilih, maka Sukarno menunjuk anggotanya sendiri pada 1960.

20140704_UUD45-440

Yang paling penting UUD 1945 menetapkan bahwa presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat, tetapi oleh MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Pada gilirannya, komposisi persis MPR tidak diatur dalam UUD 1945 versi asli – sebuah celah yang memungkinkan Soeharto untuk menunjuk mayoritas dari anggotanya. Untuk terakhir kalinya Presiden dipilih oleh MPR pada tahun 1999. Setelah itu amandemen konstitusi menghasilkan pemilihan presiden langsung yang pertama pada tahun 2004.

Mengingat latar belakang ini, kritikan Prabowo pada pemilihan langsung di TIM seharusnya tidak (dan memang tidak dapat) dibaca semata-mata sebagai pernyataan spontan dan tidak berarti dalam menanggapi pertanyaan non-politik, seperti diklaim pendukungnya kemudian. Pernyataannya juga tidak diambil di luar konteks, seperti Prabowo sendiri keluhkan. Sebaliknya, pernyataan TIM dia adalah semata pernyataan eksplisit dari apa yang sudah tersirat dalam tuntutan Gerindra untuk kembali ke UUD 1945 asli: membatalkan semua amandemen pasca-1998 secara otomatis akan membatalkan pemilihan presiden secara langsung dan mengembalikan pemilihan presiden kepada MPR.
Klarifikasi Prabowo
Pada 30 Juni akademisi ANU Ross Tapsell memiliki kesempatan untuk langsung bertanya kepada Prabowo tentang niatnya. Pada sebuah acara yang sebagian besar dihadiri para diplomat asing, dan diselenggarakan sepenuhnya dalam bahasa Inggris, Tapsell meminta Prabowo untuk menanggapi kontroversi TIM dan menjelaskan pandangannya tentang demokrasi yang lebih luas. Jawaban Prabowo memberi kita wawasan yang lebih besar pada pemikirannya tentang sistem politik Indonesia dan malah menambah, bukan mengurangi, kekhawatiran tentang apa yang ada dalam pikirannya untuk Indonesia setelah 9 Juli.

Dalam apa yang sekarang menjadi pendekatan standar Prabowo atas pertanyaan-pertanyaan semacam itu, dia menyatakan bahwa dia kecewa pada media yang menggambarkan dia sebagai pemimpin yang non-demokratis. Secara umum, dia menggambarkan dirinya sebagai “seorang demokrat”. Menilai dari tepuk tangan meriah oleh para hadirin, dan mencatat bahwa seorang wartawan asing menyatakan bahwa jawabannya cukup kredibel, strategi dia tampaknya telah efektif. Banyak diplomat asing, tampaknya, bersandar di kursi mereka dan menarik napas lega. Kelegaan seperti itu, bagaimanapun, tidak pada tempatnya.

Jauh dari menyangkal bahwa dia ingin menghapus pemilihan langsung, sebetulnya Prabowo memberi pembenaran baru atas ide ini di acara tersebut. Dalam pernyataan TIM, dia fokus pada pemilihan langsung sebagai pelanggaran atas nilai-nilai “nenek moyang kita” – di depan audiens orang asing, dia menyerang pemilihan langsung sebagai sebuah institusi yang terlalu mahal dan menyuburkan praktek korupsi. “Versi demokrasi kita sangat mahal”, katanya, dan dia mengusulkan untuk mencari cara “untuk melaksanakan demokrasi yang konsisten dengan kapasitas ekonomi kita”. Ini telah menjadi argumen yang dikemukakan oleh birokrat di Kementerian Dalam Negeri selama beberapa tahun terakhir ini, yang menyerukan kembalinya pemilihan eksekutif daerah kepada DPRD. Jelas, Prabowo sedang memanfaatkan sentimen luas tentang biaya tinggi pemilihan langsung untuk mempersiapkan perombakan terhadap sistem elektoral.

Dan walaupun contoh-contoh yang disebutkan Prabowo pada tanggal 30 Juni rata-rata terkait pemilihan lokal, sulit untuk menghindari kesimpulan bahwa dia sedang berbicara tentang tingkat nasional juga. Menariknya, dia menghindari secara eksplisit untuk memberikan jaminan bahwa dia akan menghadapi lagi para pemilih dalam waktu lima tahun untuk dimintai pertanggungjawaban oleh para pemilih. Sebaliknya, dia mengatakan dalam sebuah kalimat yang – tidak seperti biasanya kalau dia berbicara dalam bahasa Inggris – tatabahasanya kurang jelas: “Jika saya jadi terpilih saya terpilih oleh pemilihan langsung, itu saya setujui, itu saya terima.” Hal ini langsung disusul dengan pembicaraan lagi mengenai perlunya sebuah “konsensus baru”, mengulangi pernyataan TIM saat dia mengambil sikap kuat menentang pemilihan langsung.

Namun, berbeda dengan pidatonya di TIM, Prabowo menunjukkan bahwa dia telah membicarakan masalah ini dengan mitra koalisinya – yang jelas berarti bahwa pernyataannya TIM bukan hanya pernyataan spontan yang tidak mewakili pemikiran yang dalam atau mencerminkan rencana konkrit. Menurut Prabowo. “Saya mengatakan kepada teman-teman kita di Koalisi, para pemimpin Indonesia harus berkumpul bersama dan mencari konsensus baru, bagaimana merancang sistem yang masih demokratis, yang masih mewakili kehendak rakyat, tapi yang terjangkau.” Kesimpulannya tampak tak terhindarkan: Prabowo bertekad untuk membangun sistem politik murah yang memenuhi persyaratan minimum dari demokrasi, tetapi yang menghindari pemilihan langsung.

Dimodelkan pada Westminster?
Retorika Prabowo mengingatkan kita pada Demokrasi Pancasila Suharto – sebuah sistem yang menegakkan pemilu sebagai sumber legitimasi tetapi mengurangi maknanya menjadi ritual lima-tahunan yang hasilnya bisa diprediksi. Namun, untuk menjelaskan keinginannya mengembalikan kerangka politik yang dipraktekkan di bawah UUD 1945 asli, Prabowo pada tanggal 30 Juni juga menyebutkan sistem Westminster sebagaimana diterapkan di beberapa negara Eropa Barat sebagai sebuah contoh yang bisa ditiru oleh Indonesia: “Siapa yang memenangkan pemilu legislatif, akan, Anda bisa mendapat suara mayoritas di parlemen, Andalah yang secara otomatis kepala eksekutif. Dalam pendapat kami itu bisa lebih murah”. Pernyataan ini menghapus semua keraguan bahwa Prabowo berpikir untuk menghapuskan pemilihan langsung tidak hanya di tingkat daerah, seperti beberapa pendukungnya telah sarankan, tetapi juga untuk presiden. Memang, apa yang Prabowo katakan di sini adalah, paling tidak secara teori, persis yang akan terjadi kalau Indonesia kembali ke UUD 1945 yang asli: sebuah partai yang memenangkan pemilihan di parlemen dapat menjamin bahwa calonnya kemudian terpilih sebagai presiden oleh MPR. Soeharto dulu terpilih kembali sebanyak enam kali dengan cara ini.

Namun, akan menjadi naif untuk menafsirkan penyebutan mendadak Prabowo ke sistem Westminster sebagai ajakan kepada masyarakat untuk membahas kemungkinan pergeseran Indonesia menuju sistem parlementer. Tidak ada dalam pernyataan Prabowo sebelumnya, pidato ataupun platform, yang menunjukkan bahwa dia bersimpati pada demokrasi parlementer. Sebaliknya, manifesto Gerindra telah menyerukan pembentukan kembali sebuah “sistem presidensial murni”, yang diklaim telah dirusak oleh amandemen konstitusi pasca-1998. Pidato-pidato Prabowo selama kampanye juga telah berfokus pada kebutuhan untuk mengembalikan otoritas presiden dan menghadirkan “kepemimpinan yang tegas”.

Dengan demikian, demokrasi Westminster, di mana perdana menteri bertanggung jawab kepada anggota parlemen dan sangat tergantung pada mereka sebetulnya,sangat jauh dari apa yang Prabowo telah umumkan sebagai tujuan politik utamanya, yaitu, sistem presidensial terpusat dan kuat. Satu-satunya unsur demokrasi Westminster yang menarik baginya, tampaknya, adalah unsur pemilihan langsung kepala eksekutif oleh legislatif. Prabowo sendiri sangat menyiratkan hal ini dalam sambutannya pada 30 Juni di mana dia mengklaim bahwa “konstitusi [1945] kita sebenarnya lebih sesuai dengan Demokrasi parlementer Westminster”. Namun, kemiripannya terbatas pada satu aspek saja: tidak adanya pemilihan langsung bagi pemimpin tinggi pemerintah baik di sistem Westminster maupun di bawah UUD 1945.

Implikasi perubahan
Bagi kami tidak ada ada sedikit keraguan bahwa Prabowo ingin menghapuskan pemilihan langsung. Apakah itu masalah penting? Seperti Prabowo katakan, beberapa negara demokratik memang memilih kepala pemerintahan mereka secara tidak langsung melalui parlemen. Lalu bukankah usulan Prabowo hanya sekadar reformulasi demokrasi Indonesia bukan sebuah kemunduran baginya?

Terdapat beberapa alasan-alasan mengapa kami pesimis pada penilaian ini. Sejarah rezim Suharto itu sendiri adalah sebuah pengingat yang jelas betapa mudahnya pemilihan oleh MPR dapat dimanipulasi, terutama dalam konteks sebuah konstitusi yang memberikan kekuasaan hampir tak terbatas pada pihak eksekutif. Tahun-tahun pertama periode reformasi Indonesia, ketika kepala pemerintah daerah dipilih oleh DPRD, juga menunjukkan kepada kita bahwa pemilihan tidak langsung lewat parlemen lebih terbuka untuk manipulasi dan korupsi daripada pemilihan langsung oleh rakyat. Di banyak kabupaten dan provinsi, calon-calon kepala pemerintah daerah yang tidak akan mampu menang jika dipilih langsung oleh rakyat, dapat berkuasa hanya dengan membayar suap terbesar kepada anggota parlemen lokal mereka. Pemilihan langsung, meskipun tidak diragukan lagi mahal bagi kandidat, umumnya melahirkan hasil yang jauh lebih baik.

Kita bisa menduga hal yang sama akan terjadi di tingkat nasional. Seorang presiden yang kuat dan bertekad akan merasa jauh lebih mudah untuk memanipulasi beberapa ratus anggota MPR untuk mengamankan pemilihan ulang daripada memanipulasi seluruh penduduk Indonesia dalam suatu pemilihan langsung yang terbuka. Dia akan dapat menggunakan sejumlah langkah-langkah untuk membujuk atau mengancam anggota-anggota MPR agar mendukung pemilihannya kembali: kooptasi pemimpin partai dengan menawarkan jabatan menteri atau tawaran lainnya, membeli partai-partai dengan menyediakan mereka sumber-sumber daya patronase, menyuap individu anggota parlemen dengan pembayaran korup, mengancam lawan dengan penuntutan korupsi atau penuntutan lainnya, dan seterusnya.

Singkatnya, pemilihan tidak langsung melalui MPR menawarkan jalur yang jauh lebih menjanjikan menuju dominasi yang permanen dalam kekuasaan. Dan dalam konteks itu perlu diingat satu ketentuan lain yang akan hilang apabila Indonesia kembali ke UUD 1945 yang asli: pasal yang membatasi presiden pada maksimal dua kali masa jabatan.

Marcus Mietzner dan Edward Aspinall adalah spesialis politik Indonesia yang berbasis di Departemen Politik dan Perubahan Sosial pada College Asia dan Pasifik, Universitas Nasional Australia. Mereka berada di lapangan untuk mengikuti pemilihan presiden.

Versi asli dari artikel ini bisa ditemukan di sini.