Prabowo Subianto (L) looks at rock star Ahmad Dhani (R) who joined him on stage during a huge campaign rally. Photo by AFP.

Menurut Edward Aspinall dan Marcus Mietzner, Prabowo sudah memberikan indikasi yang sangat jelas bawa ia ingin mengembalikan format politik Indonesia ke sistem otoriter – antara lain, dengan menghapus pemilihan langsung.

Seiring dengan kampanye pemilihan presiden di Indonesia yang memasuki tahap akhir, agenda otoritarian Calon Presiden Prabowo semakin eksplisit.

Pada pidatonya Sabtu lalu (28/6) di Taman Ismail Marzuki Jakarta, Prabowo menyatakan bahwa pemilihan langsung tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia dan memberi sinyal kuat bahwa dia ingin melenyapkan praktek ini. Dengan kata lain, walaupun Prabowo mengajak rakyat Indonesia untuk memilihnya pada pemilihan presiden kali ini, nampaknya dia tidak ingin memberikan kesempatan kepada rakyat Indonesia untuk mengevaluasi performanya dan memberikan penilaian atas masa kepresidenannya selama lima tahun ke depan.

Walaupun kami belum mendapatkan akses terhadap transkrip lengkap dari pidato tersebut, tetapi laporan yang nampak dari Kompas Online, Prabowo menyatakan bahwa pemilihan langsung adalah produk budaya dan politik Barat yang “tidak cocok” untuk Indonesia. Dia membandingkan dengan seseorang yang mencandu rokok, yang prosesnya sulit sampai dia berhenti. Prabowo menambahkan, Indonesia memerlukan format politik baru untuk membenahi sistem di Indonesia yang terlanjur berkiblat ke Barat.

Kompas mengutip Prabowo yang mengatakan “Perlu konsesus baru. Pemimpin politik, cendekiawan, agama, budaya, bahkan buruh. Saya tidak ingin kejanggalan ini, membiarkan kita keluar dari nilai-nilai budaya nenek moyang kita”.

Lebih lanjut, Kompas menparafrase pernyataan mantan jenderal yang mengatakan perlunya pertemuan besar berskala nasional untuk membicarakan konsensus baru yang kontras dengan situasi sekarang “Karena, saat ini, dengan mengatasnamakan demokrasi, maka segala kebijakan, harus melalui voting, termasuk pada pemilihan langsung”.

Disini, Prabowo memainkan lagu lama yang sama persis dalam buku lagu yang dimainkan oleh rezim otoritarian sebelumnya yaitu mantan mertuanya Jenderal Suharto.

Pada tahun-tahun awal Rezim Orde Baru, militer meletakkan “konsensus” baru sebagai basis dari sistem otoritarian. Orde Baru juga selalu memberikan perhatian kepada versi (rekayasa) dari budaya Indonesia, yang menekankan kepada musyawarah dan mufakat, yang memberikan legitimasi kepada praktek anti demokrasi.

Bahkan, pernyataan Prabowo terlihat seperti diambil langsung dari pidato pejabat pemerintah pada masa kekuatan Orde Baru mencapai puncaknya, padahal pernyataan semacam ini semakin jarang terdengar dalam era pemerintahan pasca-Suharto.

Dapat diasumsikan, apa yang ada di benak Prabowo bukan hanya penghapusan pemilu kepala daerah (hal yang sudah disampaikannya secara eksplisit), tetapi juga kembali kepada pemilihan tidak langsung Presiden melalui MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), proses yang digunakan Suharto yang pada masa lalu, dan akan selalu, terbuka untuk manipulasi dan politik patronase.

Hal ini mungkin pernyataan paling eksplisit sampai sejauh ini tentang sikap Prabowo terhadap demokrasi elektoral. Sebelumnya, dia pernah menyatakan bahwa demokrasi “membuat kita capek” dan bahwa dia berharap untuk dapat menciptakan demokrasi yang “produktif” dan bukan yang “destruktif”. Dia juga pernah secara tidak langsung menunjukkan keinginan untuk menghapus infrastruktur utama penopang demokrasi pasca Suharto dengan kembali kepada versi asli UUD 1945. Keinginan Prabowo untuk kembali ke format politik seperti dipraktekkan di bawah UUD 1945 yang asli (sebelum diamandemen) telah dijelaskan dalam Manifesto Perjuangan Partai Gerindra. Namun, baru saat ini kita melihat penerjemahan Prabowo yang konkret terhadap agenda tersebut: dia sangat mungkin juga ingin menghapus mekanisme yang membawanya ke kekuasaan, yaitu pemilihan presiden langsung.

Ini merupakan suatu kondisi yang luar biasa.

Sangat jarang dalam dunia modern untuk seseorang yang akan menjadi autokrat berbicara secara terbuka bahwa dirinya akan menghancurkan sistem pemilu yang digunakannya sebagai sarana untuk mencapai kekuasaan. Mereka umumnya menutupi niatannya sebelum mereka terpilih. Dalam upaya mencari kasus serupa dalam sejarah politik, kita mungkin butuh kembali ke gerakan fasis Eropa di tahun 1930an untuk menemukan sentimen otoritarian yang diucapkan secara ekspisit oleh suatu gerakan yang berkompetisi dan akhirnya menang dalam pemilu.

Namun sepertinya, sampai sejauh ini, lawan kampanye Prabowo, kubu Joko Widodo, tidak melakukan apapun untuk menggarisbawahi pernyataan Prabowo dan ancaman yang tersirat terhadap arsitektur demokrasi Indonesia.

Hal ini sesuai dengan kegagalan kampanye untuk menggarisbawahi elemen anti demokrasi serupa yang muncul dalam berbagai pernyataan dan pidato Prabowo. Sangat nampak keengganan kubu Jokowi untuk menggambarkan pemilihan presiden ini sebagai suatu peristiwa politik di mana nasib demokrasi di Indonesia akan ditentukan.

Seandainya nanti demokrasi Indonesia mati pada 9 Juli, kematianya tidak akan disebabkan oleh suatu big bang, atau suatu kecelakaan politik yang luar biasa. Demokrasi akan mati tanpa disadari banyak orang, baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Profesor Edward Aspinall dan Dr Marcus Mietzner adalah peneliti politik Indonesia yang berbasis di Australian National University, College of Asia and the Pacific. Mereka berada di lapangan untuk mengikuti kampanye pemilihan presiden.